Minggu, 15 Februari 2015

Pesona Gunung Semeru

 Catatan Perjalanan  Oleh : 
 Abdul. Humul. Faaiz  (El Capitan Indonesia)
(Foto : Faaiz/Elcapitan Indonesia)

Dalam Keganasannya,  Tentunya semeru memiliki pesona yang luar biasa. Bagi petualang yang datang berkunjung, akan disuguhi bentangan alam indah yang dapat meluruhkan rasa penat karena menempuh perjalanan yang cukup melelahkan. Semeru memiliki beberapa pemandangan luar biasa. Mulai dari danau, perbukitan, savana serta gunung berpasir. Semua memiliki daya tarik tersendiri. Salah satunya yaitu Pesona Danau Ranu Kumbolo yang taka da habisnya. Banyak pendaki yang merindukan tempat itu. Salah satunya saya berserta teman-teman. 

Keindahan Ranu Kumbolo dan Mitos Tanjakan Cinta. 

Ranu Kumbolo dari arah timur. (Foto : Faiz / El Capitan Indonesia)
Ranu Kumbolo menjadi daya tarik pertama ketika kita berkunjung ke kawasan Gunung  tertinggi pulau Jawa itu. Ranu kumbolo adalah danau seluas kira-kira 15 hektar yang tersembunyi di lereng gunung Semeru. Dari Desa Ranu Pani, desa terakhir sebelum memulai pendakian ke Gunung Semeru, Ranu Kumbolo yang berada di ketinggian 2400 mdpl (meter di atas permukaan laut) itu dapat ditempuh dalam waktu empat hingga enam jam perjalanan. Para pendakipun biasa menjadikan tempat ini sebagai camp untuk beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan.
Air danau yang hijau kebiruan dan dikelilingi perbukitan menjadi sajian penyejuk mata. Di pagi hari, terbitnya matahari yang tampak dari sela-sela bukit menjadi pemandangan yang selalu dinanti di Ranu Kumbolo. Suara jepretan kamera saling beradu cepat dengan naiknya matahari menghangatkan Ranu Kumbolo.
Danau yang menurut para pendaki itu adalah surga Gunung Semeru, perlu dijaga kebersihannya. Tentunya dibutuhkan kerja sama atar petugas balai dengan pendaki yang kerap mengunjungi danau itu. Berat rasanya meninggalkan danau itu. Namun perjalanan kami masih terus berlanjut.  


Selepas Ranu Kumbolo, perjalanan bisa dilanjutkan dengan mendaki Tanjakan Cinta. Konon, jika kita bisa mendakinya tanpa berhenti dan tanpa menoleh ke belakang, kebahagiaan akan diraih.
“Woiii…. tutup lensa siapa yang ketinggalan nihhhh,” teriak Seorang pendaki kepada temannya  yang tengah mendaki Tanjakan Cinta.
Mendadak beberapa orang diantaranya yang memiliki kamera DSLR menoleh ke belakang. merekapunpun hanya senyum-senyum saja sambil duduk di atas ransel, Sejenak mereka yang menoleh ke belakang terdiam dan saling berpandangan dan sejurus kemudian berteriak-teriak, “Awassss yahhhhh….  !”.
Saya hanya tertawa-tawa melihat mereka karna berhasil membuat teman-teman mereka menoleh ke belakang. Selama beberapa jam kajadian it uterus berulang-ulang kali dilakukan oleh para pendaki bahkan pemandangan itu dijadikan tontonan bagi pendaki yang tengah beristirahan di ranu kumbolo.

Keindahan Di Balik Tanjakan Cinta
Perjalananpun berlanjut. Di balik Tanjakan Cinta, hamparan padang rumput yang tingginya mencapai hingga ke kepala dan dikelilingi perbukitan landai menjadi kejutan berikutnya. Oro-oro Ombo namanya. Oro-oro dalam bahasa Jawa berarti tanah kosong dan ombo artinya luas. Secara keseluruhan artinya tanah kosong yang luas.

Padang rumput ini menyajikan keindahan berbeda pada setiap musim. Menurut Pendaki asal malang, Musim penghujan adalah saat-saat baik dengan sajian bunga lavender merekah indah yang membentang luas sepanjang Oro-oro Ombo. 
Kawasan ini seperti permadani ungu. Pada musim kemarau, bunga lavender mengering dan kawasan ini menjadi kuning keemasan. Menyusuri kawasan ini sangat menyenangkan. Banyak petualang yang menghabiskan waktu untuk berfoto narsis di sini. Tanahnya datar serta landscape indah menjadi daya tarik tersendiri. Sayangnya saya tidak melihat pemandangan itu. 


Puncak Di Depan Mata di Kalimati 

Menuju camp kali mati (Foto : Sudirman / El Capitan Indonesia)
Selepas Oro-oro Ombo, kita akan memasuki sebuah camp dimana para pendaki beristirahat sebelum menuju puncak Semeru. Namun perlu perjuangan untuk sampai ke sana, butuh waktu 4 hingga 5 jam untuk mencapai camp kalimati. Camp Kalimati menjadi kawasan para pendaki berkumpul. Kalau di Oro-oro Ombo banyak ditumbuhi Lavender, maka di Kalimati padang rumputnya di tumbuhi vegetasi supalpin Edelweiss.  Dari Kalimati, puncak Mahameru yang gagah menjulang tampak jelas dengan kekhasan konturnya yang berpasir. Di kawasan ini terdapat sumber mata air terakhir sebelum menuju puncak.
Dari Camp kalimati para pendaki biasanya beristrihat menunnggu hinggal pukul 12.00, kemudian menuju puncak, atau menginap lagi satu malam untuk memulihkan tenaga. Karena perjuangan dan tantangan sebenarnya ada pada saat menuju puncak.
Saat itu saya bersama teman saya mengambil keputusan untuk menginap satu malam karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan. Ditambah lagi suhu yang tak biasa bagi saya dan teman-teman memaksa kami untuk beristirahat penuh sebari mengembalikan tenaga yang terkuras selama perjalanan seharian penuh. Suhu yang mencapai 4oC itu tentunya sangat mempengaruhi kondisi fisik kami yang terbiasa dengan suhu yang mencapai 40oC. Itu Suhu Rata-rata di Kota Kami Sulawesi Tengah. Jaket tebal berlapis empatpun masih terasa dingin. Tidak sedikit para pendaki sulit tidur akibat dinginnya camp kali mati. Sesekali beberapa pendaki berteriak. “Panaaaaaasss….!!!” Candanya. Mendengar teriakan itu sedikit menghibur saya, karena bukan hanya kami saja yang kesulitan dengan dinginnya kalimati. Saat itu tepat pukul 02.00 (Subuh), dari dalam tenda saya mendengar suara dari luar tenda kami, suara gerombolan orang yang melanjutkan perjalanan menunuju puncak. rasa penasaran membangunkan saya dari tidur yang tidak lelap akibat dingin itu. Sesekali saya membuka pintu tenda dan menutupnya lagi, sayapun tidak mampu membuka pintu tenda lebar-lebar dikarenakan dinginnya angin yang bertiup lembut namun menusuk hingga ke pori-pori wajah dan tubuh saya. Sayapun mencoba untuk tidur lagi namun mata tak bisa lagi terpejam akibat dingin dan juga tentu juga ada rasa penasaran suasana di luar tenda. Saya terbangun lagi sambil mengintip kondisi di luar tenda, tidak ada orang terlihat, hanya bara api yang hampir mati bekas api unggun para pendaki yang beristrirahat menuju puncak. Muncul ide saya untuk mendekati bekas pembakaran itu untuk menghangatkan tubuh saya. Dengan segelas kopi yang dan beberapa batang rokok saya menyalakan api itu. Perlahan-lahan tubuh saya hangat, serasa ingin berbaring di sampingnya di atas sebuah matras dan kantung tidur. beberapa menit kemudian saat api yang tengah saya nyalakan beberapa pendakipun mendekat ke api yang telah saya nyalakan tentunya dengan tujuan yang sama seperti saya untuk menghangatkan badan “mas….., boleh gabung nggak….??” Tanya seorang pendaki dan lima orang temannya. Sebuah Intonasi dan gaya bahasa yang sangat asing untuk saya, Setelah beberapa menit ngobrol dengan mereka dan saling berkenalan, akhirnya saya tahu mereka pendaki asal Jakarta. Kami ngobrol lama, meskipun kesulitan dalam berbahasa saya selalu mencoba untuk berinteraksi dengan mereka dikareakan mereka tidak paham dengan bahasa saya. Namun secara pribadi saya bersyukur sebagai orang yang berasal dari Sulawesi tengah, kami mampu beradaptasi dengan siapapun khususnya dengan orang di pulau jawa. Sambil ngobrol bersama mereka saya melihat beberapa gerombolan pendaki yang tengah jalan menuju puncak. Obrolan kami sampai pagi, kamipun beranjak dari tempat itu menuju tenda masing-masing berniat melanjutkan tidurku yang semalam tertunda.

Tantangan Berat Menuju puncak

Medan menuju puncak (Foto : Faaiz / El Capitan Indonesia)
Hari Sudah larut malam, saat itu tepat pukul 10.00, kami sedang mempersiapkan perlengkapan peralatan dan logistik dalam perjalanan menuju puncak. Sambil melakukan pemanasan ringan kami memeriksa perlengkapan yang ada. waktu yang paling saya tunggu-tunggu, menuju puncak dengan ketinggian di atas 3000.an meter dari permukaan laut (mdpl) adalah suatu tantangan tersendiri bagi saya. Soalnya pengalaman pertama bagi saya menapaki ketinggian 3000.an ke atas. Jatungpun berdetang dengan kencangnya antara rasa takut dan penasaran. Tepat pukul 11.00 kamipun bergerak menuju puncak, keberangkatan yang tak biasa dilakukan oleh para pendaki pada umumnya. Dikarenakan jumlah pendaki saat itu mencapai ribuan, kami bergeraak lebih awal menghitung jarak tempuh dengan antrian yang akan terjadi nantinya.
Perhitungan kamipun benar, berapa jam perjalanan kami menemukan antrian yang cukup panjang mulai dari arcopodo. Arcopodo ini juga dijadikan camp sebelum Summit Semeru oleh beberapa pendaki. Beberapa tenda yang dibangun kami temui di sana. Sambil menunggu antrian yang begitu panjang kami beristirahat sebari menghangatkan badan. Tak cukup 15 menit kamipun melanjutkan perjalanan dengan langkah sedikit demi sedikit akibat antrian panjang yang menghiasi seluruh jalan itu hingga kami sampai di batas vegetasi, cahaya berjajar panjang mengecil hingga ke puncak. Sebari berdoa untuk keselamatan saya dan teman-teman. Tidak sedikit pendaki berbalik arah dikarenakan tidak mampu menahan dingin. “Di atas dingin banget…..!!!” keluh seorang pendaki asal Jakarta itu. Rasa takutku sesekali muncul, tapi dibekali dengan semangat yang tinggi saya melawan rasa takut itu kemudian melanjutkan tanjakan yang begitu miringnya ditambah sulitnya medan berpasir, wajah berdebu meskipun sudah menggunakan masker.
Fajar pun tampak dari ujung timur menambah semangat untuk melangkah, kami sampai di puncak tepat pukul 07.00. rasa bahagian bercampur dengan air mata. Puncak mahameru, Puncak tertinggi di pulau jawa, bahagia bisa berada di atasnya. Ucapan syukurku pada tuhan atas ciptaannya yang mengagungkan. Seakan rasa lelah terlupakan akibat bahagia yang saya rasakan.
Setelah beberapa jam di puncak kamipun kembali ke camp kalimati untuk mengemasi barang menuju Ranukumbolo.

Ranu Kumbolo Danau Penuh Kejutan
Danau Ranu Kumbolo diselimuti salju (Dok. El Capitan Indonesia)
Satu lagi kejutan yang berkesan saat kami berada di Ranukumbolo. Kejutan yang jarang didapatkan oleh pendaki. Menjelang magrib kami tiba di ranukumbolo, setelah mendirikan tenda kami bersiap memasak untuk makan malam. Saat itu suhunya terasa berbeda dari saat kami pertama kali tiba di danau itu. Terasa lebih dingin bakhan terasa menusuk hingga ke tulang. Setelah makan malam dan ngopi, kamipun bergegas masuk ke tenda untuk beristirahat. Tak hanya kami, tenda-tenda di sekitarpun tak ada aktifitas selain tidur. Perlahan terasa sunyi, hanya suara angin yang terdenar.  
Saat pagi, “Benjo”, sapaan teman sekota saya, memaksa saya agar bangun “Faiz..,,, bangun ada salju di luar…” teriaknnya dari luar. Saya terbangun namun hanya mampu membuka mata dan tak mampu bergerak karena dingin yang luar biasa. Saya hanya bias mengintip keluar melihat butiran-butiran salju yang menempel di sepatu dan peralatan kami. Rasanya ingin keluar tapi tak mampu menahan rasa dingin. Tak lama kemudian seorang teman dengan isengnya mengumpulkan butiran es dan melemparkannya ke dalam tenda hingga mengenai pipiku, dengan kaget saya melompat keluar tenda. Merekapun tertawa terbahak-bahak melihat tingkah teman saya dan raut wajah panik saya. Saat di luar tenda saya terertegun dan tak mampu berbicara melihat indahnya hemparan salju menyelimuti danau ranu kumbolo dengan matahari  pagi memerah mengintip dari sebelah bukit danau ranukumbolo. Bergegas saya mengabadikan momen yang mungkin hanya sekali saya temukan dan saya rasakan. Tak berhenti kami mengabadikan momen itu, dengan niat sebagai oleh-oleh untuk teman di daerah kami.
Matahari mulai meninggi, Tak terasa salju perlahan mulai mencair seakan mengisyaratkan kepada kami bahwa sudah saatnya untuk pulang. Kamipun berkemas meski berat rasanya untuk meninggalkan tempat itu. Namun kami harus pulang untuk melanjutkan tujuan petualangan kami selanjutnya. (*)
  


Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

0 komentar:

Posting Komentar

Breaking News
Loading...
Quick Message
Press Esc to close
Copyright © 2013 El Capitan Indonesia All Right Reserved